5.10.2010

kisah tragis pendakian everest

“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka, kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur’an itu?”(Al-A’raaf:185).

Membaca buku tebal berjudul ‘Into Thin Air’ berisi tulisan-tulisan yang memukau sempat membuatku terkesima. Buku itu cukup bisa mengaduk-aduk emosi pembaca dan membuat ingin tahu cerita selanjutnya saat membaca kata demi kata. Into Thin Air menceritakan kisah pendakian puncak Everest oleh beberapa tim ekspedisi namun difokuskan pada sebuah tim ekspedisi bernama “Adventure Consultants”.


Penulis buku ini adalah seorang editor majalah outside (wartawan) bernama Jon Krakauer yang tinggal di Seattle. Kisah ini diambil dari pengalaman penulis saat melakukan pendakian gunung everest pada tahun 1996. Puncak Everest merupakan salah satu puncak yang terdapat di pegunungan himalaya. Pegunungan Himalaya terdiri dari beberapa puncak. Di antaranya yaitu puncak Cho oyu, puncak Selatan, Hillary step, dll namun yang paling tinggi adalah Everest.
Ekspedisi yang teramat sulit berhasil dialui oleh Jon namun menyisakan kepedihan mendalam dan membuat penulis cukup terguncang. Di puncak Everest dengan ketinggian 29000 kaki, pendaki sering dihadapkan pada masalah kurangnya persediaan oksigen sehingga untuk berpikir jernih pun sangat sulit dilakukan terlebih jika harus mengambil keputusan penting. Zona kematian itu sudah begitu banyak menelan korban.

“…Kebenaran yang paling sederhana adalah aku tahu tahu bahwa aku tidak seharusnya pergi ke Everest, tetapi aku pergi juga. Dan karena itu, aku ikut menjadi penyebab tewasnya orang-orang yang baik, sesuatu yang mungkin mengusik batinku untuk waktu yang sangat lama.
Empat ratus kaki di atasku, di puncak Everest yang masih bermandi cahaya matahari, di bawah naungan langit yang biru, teman-temanku sedang berpesta merayakan keberhasilan mereka menaklukkan puncak planet ini, mengibarkan bendera dan membuat beberapa foto, menghamburkan setiap detik waktu yang sangat berharga. Tidak seorang pun yang pernah mambayangkan bahwa bencana yang menakutkan sedang mengintai. Tidak ada yang menduga, bahwa di penghujung hari itu, setiap detik akan menjadi sangat berarti….”

Jon tidak menghabiskan waktu banyak di puncak everest. Ia segera turun karena memperhitungkan bahwa ia akan kehabisan oksigen jika berlama-lama di puncak. Ia pun sampai di Camp Empat tepat pada waktunya sebelum hari mulai gelap. Sementara rekan-rekannya yang berhasil mencapai puncak belum sampai di Camp Empat padahal hari sudah gelap. Dari lima rekan satu tim yang berhasil sampai puncak everest, empat orang temasuk pemimpin ekspedisi meninggal dunia. Satu orang yang selamat dari kelima orang itu adalah penulis.
Mendaki everest merupakan kegiatan yang sangat berbahaya baik bagi pemula yang dipandu maupun pendaki gunung kaliber dunia yang mendaki bersama rekan-rekan mereka. Para pendaki sewaktu-waktu dapat terkena gigitan salju yang teramat dingin yang memungkinkan sel-sel tubuh yang terkena dapat rusak, membusuk hingga perlu diamputasi. Penyakit yang terkadang ditemui pada pendaki gunung yang amat tinggi dapat berupa penyakit ketinggian HAPE (High Altitude Pulmonary Edema)/membengkaknya paru-paru akibat ketinggian. Penyakit misterius yang mematikan ini kerap , menyerang seorang pendaki yang mendaki terlalu tinggi dan terlalu cepat sehingga paru-paru si pendaki tertutup cairan. Penyebabnya diduga karena kurangnya oksigen, ditambah tingginya tekanan pada pembuluh darah jantung yang menuju paru-paru menyebabkan pembuluh darah tersebut bocor sehingga cairan masuk ke dalam paru-paru. Selain itu yang justru lebih berbahaya adalah HACE (High Altitude Cerebral Edema)/pembengkakan otak akibat ketinggian namun HACE lebih jarang dibanding HAPE. HACE merupakan sejenis penyakit membingungkan dan terjadi jika ada kebocoran pada pembuluh darah otak yang kekurangan oksigen, menyebabkan otak membengkak cepat, dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa peringatan sama sekali. Ketika tekanan di dalam rongga otak meningkat, kemampuan motorik dan mental penderita akan menurun dengan drastis - biasanya hanya dalam waktu beberapa jam atau kurang - dan biasanya, si korban tidak sadar akan perubahan yang terjadi. Tahap selanjutnya adalah koma, jika si pasien tidak segera dievakuasi ke ketinggian yang lebih rendah, lalu disusul dengan kematian.

“Dan, mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya, kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”(ar-Ruum:8)

Tiap jengkal lukisan alam semoga membuat kita makin tunduk pada keperkasaan Sang Pencipta karena pada dasarnya kita yang lemah ini tak akan berdaya dibandingkan keperkasaan alam yang merupakan guratan ayat-ayat kauniyah-Nya. Ada beberapa patah kata dari seorang pendaki Indonesia (Ita Budhi), “Seorang pendaki gunung sejatinya tidak senang menaklukkan pucuk-pucuk tertinggi yang sedang menusuk ke langit tapi ia sedang menaklukkan pucuk-pucuk tertinggi dari egonya sendiri sebagai seorang manusia.

“Dan, di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tiada memperhatikan?”







0 komentar:

Posting Komentar