6.08.2010

Pemusik Jazz Serba Bisa

Pemusik jazz serba bisa Bill Amirsyah Saragih meninggal dunia dalam usia 75 tahun pada hari Selasa 29 Januari 2008 pukul 11.15 WIB di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, arena serangan stroke yang dideritanya sejak 2001. Pria kelahiran Sindaraya, Simalungun, Sumatera Utara, 1 Januari 1933, itu secara total menggeluti musik jazz.
 
Jenazah Bill disemayamkan di rumah duka, Kompleks Taman Rempoa Indah, Tangerang, Banten. Bill sempat dirawat di rumah sakit selama 18 hari karena penyakit paru-paru. Bill terkena stroke pada Februari 2001 dan sejak itu aktivitas bermusiknya terhenti.
 
Bill seorang musisi dan penghibur serba bisa. Selain piawai sebagai penyanyi, Bill juga seba bisa memainkan instrumen piano, saksofon, flute, dan vibrafon. Dia penghibur yang sangat komunikatif dengan banyolan serta vokal yang sering dimiripkan dengan suara serak Louis Armstrong.
 
Menikah dengan Anna Rosemarry dan dikaruniai dua orang anak John Anthony dan Leoni Tiana. Istrinya, Anna Rosemary sudah lebih dulu meninggal di usia ke-63 tahun pada 18 Januari 1999, di Sydney, Australia.


Bill lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di luar negeri, terutama Australia, dan total menggeluti musik jazz termasuk menjadi leader untuk grup Bill Saragih Trio yang eksis di Sydney.
Sejak tahun 1966 Bill telah melanglang buana untuk bermain musik di luar negeri, seperti Hongkong, Filipina, Thailand dan Jerman. Dia pernah tampil bersama Lionel hampton dan ikut jazz workshop di Jerman. Lalu tahun 1972 dia menetap di Australia dan baru kembali ke Indonesia tahun 1987.

Bill Saragih, anak ke-5 dari 11 bersaudara dari keluarga Jan Kadoek Saragih, mulai bermusik secara profesional di Hotel Indonesia, Jakarta, awal tahun 1960-an bersama musisi seperti Victor Tobing, Sal Salius, Poltak Hutabarat, dan Jack Lesmana.

Albumnya, antara lain Bill Saragih, Sings ’n Plays terbitan Suryanada Indah Pratama tahun 1997.
 
Berita Majalah Tempo Edisi 18 Mei 1973 mengisahkan kebolehan Bill tampil di panggung bersama Lionel Hampton. "Siapa yang mau main dengan saya?” tanya Lionel Hampton. Tak ada yang beringsut dari kursinya — kecuali seorang yang langsung naik panggung sambil menantang: “Saya akan ambil oper vibraphon anda”. Dia pun mainlah, sementara Lionel Hampton sesekali mengetuk piano dan selebihnya menonton permainannya.

Jelas ia tidak sebaik Hampton. Tapi keberaniannya ber jam session dalam acara konser khusus Lionel Hampton di hadapan musisi kota Bangkok, lima tahun lalu merupakan potret diri seorang yang bernama Bill Amir Saragih.


Bersaing dengan musisi Asia lain yang banyak mencari rizki di ibukota Muangthai ini. Bill tidak segan untuk pamer kelihaiannya — sekalipun berhadapan dengan raja vibraphon Lionel Hampton. Bahkan Hampton langsung mengatakan: “Anda calon raja”.

Komentar Hampton bukan tanpa alasan. Bill yang di samping vibraphon juga dapat memainkan piano, fluet dan senor saksophon, sudah punya modal musik yang lumayan. Menjelang kabur nya ke luar negeri delapan tahun yang lalu, Bill bersama saudaranya Banner Saragih dan Joe Saragih, sempat memimpin Jazz Rider nya Hotel Indonesia.

Bahkan di sana Bill turut bernyanyi. Volume suaranya, seperti kata Tim Kantoso Danumihardja: kalau lagi serius mirip kombinasi Sammy Davis Jr dan Frank Sinatra.

Sementara permainan pianonya kecipratan cara Horace Silver, seperti juga misalnya Bubby Chen. Cuma Bill, menurut Tim Kantoso yang pernah bertindak sebagai adviser Jazz Rid: “Fingering tidak selincah Bubby Chen, tapi sangat kuat dalam akord”. Bersama Marihot Hutabarat almarhum, Bill sering mengisi jazz program, yang diselenggarakan USIS pada menjelang tahun enampuluhan.

Kemampuannya bermain saksophon, bukan asal tiup saja. Konon Tim Kantosolah yang mengusulkan agar Bill memilih saksophon. “Dengan instrumen itu, dinamika suaranya bisa ber-ekspresi lebih penuh”. Menjelang petualangannya di luar negeri, “hanya satu yang belum dilakukannya, yaitu mencetak kader”, kata Tim Kantoso. Barangkali tidak seperti yang sudah dilakukan Mus Mualim atau Jack Lesmana misalnya.

Restoran berputar. Dengan modal pengalaman yang lebih banyak -sempat mengikuti Jazz Workshop di Jerman - Bill dengan isteri Inggerisnya kemudian mencoba kelihaiannya di Australia. “Kalau orang kita sih di mana saja bisa cari makan”, kata Bill dengan logat Bataknya yang cukup medok, “meski di kampung sendiri susah cari nafkah”.

Keyakinannya yang tidak kecil’ tampak nya merupakan modal yang kuat untuk bersaing di negeri Whitlam itu. Bahkan Bill berhasil merebut tempat terhormat di kehidupan malam kota dagang Sydney.

Asal mulanya, seorang bekas pemain sepakbola BBSA–sebuah klub Persija - John Chong menjumpainya di salah sebuah restoran di Bangkok. Bill ditantang untuk mengadu nasib di Australia. “Saya memberanikan diri”, kata Bill, “meski setelah tiba selama 5 bulan jadi penganggur”.

Usahanya yang keras mengantarkan dia kepada kontraknya dengan Summit Restaurant, sebuah restoran berputar di puncak Australia Square pada tingkat ke 47 — gedung pencakar langit tertinggi di Sydney.

Kemudian, rindunya kepada Indonesia dinyatakan melalui hasratnya untuk kembaii ke tanah airnya. setelah cukup bekal dari kontraknya berakhir. Dengan penghasilan $ 200 seminggu, secara materil Bill tergolong orang yang agak lumayan. Tapi barangkali itu pula yang menariknya kembali ke sana. Sebab Jakarta belum tentu bisa memberinya sebanyak itu. Hasratnya baru terpenuhi 1997, ia kembali ke tanah air.
Biodata

Nama:
Bill Saragih
Nama Lengkap:
Bill Amirsyah Saragih
Lahir:
Sindaraya, Simalungun, Sumatera Utara, 1 Januari 1933
Meninggal:
Jakarta, 29 Januari 2008

Isteri:
Anna Rosemarry
Anak:
- John Anthony
- Leoni Tiana
Ayah:
Jan Kadoek Saragih

selengkapnya......

Sastrawan Angkatan 45

Budayawan dan sastrawan angkatan 45, Mh Rustandi Kartakusuma, yang akrab dipanggil Uyus, meninggal dunia dalam usia 87 tahun, Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur. Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 20 Juli 1921, itu tidak menikah sampai akhir hayatnya. Pada masa mudanya, dia dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Dimakamkan Jumat siang 11/4 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon, Cibubur.
 
Uyus pernah mengajar di Yale University dan Harvard University, Amerika Serikat. Juga pernah memberikan kuliah di Massachusetts Institute of Technology atas undangan Stichting voor Culturele Samenwerking. Sempat setahun tinggal di Belanda dan belajar musik di Muzieklyceum, Amsterdam.


Pada masa tuanya, sejak 13 November 1996, Uyus tinggal di Panti Jompo setelah sebelumnya menumpang di rumah kakaknya di Kebon Sayur, Jakarta. Tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri ia menganugerahkan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan atas jasanya mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda. Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi juga menganugerahkan penghargaan Sastra Rancage atas kumpulan cerpennya
Biodata

Nama:
Mh Rustandi Kartakusuma
Nama Panggilan:
Uyus
Lahir:
Ciamis, Jawa Barat, 20 Juli 1921
Meninggal:
Jakarta, 11 April 2008

Profesi
Sastrawan

Penghargaan:
- Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI, 2004
- Penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi


selengkapnya......

Sebuah Legenda Maestro Keroncong


Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa menjadi legenda di masyarakat. Satu dari yang sedikit itu, ialah maestro keroncong asal Solo, Gesang Martohartono, pencipta lagu Bengawan Solo. Sebuah lagu keroncong yang menyeberangi lautan. Lagu yang sangat digemari di Jepang. Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Lagu yang telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

Dan, tak banyak pula dari penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa bertahan hingga usia 85 tahun. Gesang bahkan telah membuktikan bahwa dalam usianya yang ke-85 tahun, masih mampu merekam suaranya. Rekaman bertajuk Keroncong Asli Gesang itu diproduksi PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta, September 2002.

Peluncuran album rekaman itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun Gesang ke-85, yang diadakan di Hotel Kusuma Sahid di Solo, Selasa (1/10) malam. Hendarmin Susilo, Presiden Direktur GMP, menyebutkan produksi album rekaman Gesang yang sebagian dibawakan sendiri Gesang, merupakan wujud kecintaan dan penghargaannya pada dedikasi sang maestro terhadap musik keroncong.

Sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati, Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo.

Ini memang lebih sebagai album penghormatan atas sebuah legenda daripada sebuah produk yang tak punya selling point. Dalam album ini suara Gesang agak "tertolong" karena didampingi penyanyi-penyanyi kondang: Sundari Soekotjo, Tuty Tri Sedya, Asti Dewi, Waldjinah.

"Terus terang, suara saya jelek. Apalagi saat rekaman itu saya sedang sakit batuk, sehingga terpaksa diulang-ulang hingga, ya, lebih lumayan," ungkap Gesang polos. Menurut dia, sebenarnya aransemen dan iringan musik oleh Orkes Keroncong Bahana itu dia rasa kurang cocok untuk kondisi vokalnya.

***
SUDAH lima tahun terakhir, perayaan HUT Gesang diadakan di hotel yang sama. Penyelenggaranya gabungan dari anggota keluarga Gesang dan Yayasan Peduli Gesang (YGP) dari Jepang. YGP semula merupakan wadah sejumlah warga Jepang yang memiliki penghormatan khusus pada Gesang, dan mereka menghimpun dana untuk membantu kehidupan Gesang. Sebagian dari mereka adalah orang Jepang yang berusia di atas 80 tahun, karena pada masa perang dahulu sudah mengagumi lagu Bengawan Solo.

Mereka datang berombongan dari Jepang-asal Tokyo, Pulau Shikoku, Yokohama-dan tiba sehari sebelumnya. Setiap tahun anggota rombongan berganti-ganti, dan sebagian anggota tetap. Menurut Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang, Okihara Toshio, sebenarnya banyak warga Jepang yang berniat datang ke Solo, tetapi terbentur teknis untuk mengumpulkan mereka sehingga hanya terkumpul 26 orang.

Bayangkan. Mereka menempuh jarak ribuan kilometer hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Gesang. Selain mesti membeli tiket pesawat terbang pergi-pulang dan mengeluarkan biaya akomodasi, mereka juga membawa cenderamata buat Gesang. Dari amplop berisi uang yen hinga lukisan. Bahkan ada yang sengaja datang ke Solo untuk bisa bernyanyi (bermain piano) bersama Gesang. Ada juga yang menari.
Ketua Yayasan Peduli Gesang, Ny Yokoyama Kazue (55) agak menyayangkan ketidakhadiran sejumlah warga Jepang yang tinggal di Kota Solo, padahal tahun lalu saat perayaan HUT Gesang mereka datang. HUT yang istimewa itu, 85 tahun, hanya dihadiri kurang dari 100 orang.

Ia juga menyayangkan ketidakhadiran kalangan pemusik dan penyanyi keroncong setempat. Padahal panitia dari Jepang telah menyiapkan penghargaan kepada mereka. HUT Gesang malam itu terasa sepi tanpa kehadiran penyanyi Waldjinah, komponis Andjar Any, atau kalangan musik keroncong lainnya. Tak satu pun kalangan pejabat yang hadir, maupun mereka yang selama ini menyebut dirinya menghargai musik Indonesia.

Barangkali ini sebuah ironi tentang sebuah bangsa yang konon sangat mengagungkan kepahlawanan. Ny Yokoyama mengaku, sebenarnya ia hanya melanjutkan usaha mendiang Hirano Widodo, salah seorang warga Jepang (tinggal di Klaten) pengagum Gesang. "Saya sudah telanjur berjanji pada Pak Hirano tatkala beliau dirawat di rumah sakit," tutur Ny Yokoyama. Ia bahkan mengaku, sebelumnya tidak mengenal Gesang.

***
MENYEBUT kekaguman terhadap Gesang sebagai sebuah legenda, rasanya tidak adil tanpa menyebut peran PT Gema Nada Pertiwi yang dipimpin Hendarmin Susilo (57). "Saya termasuk warga keturunan, tetapi saya cinta negeri ini, dan menyukai lagu-lagu daerah di sini seperti gending, degung, lagu-lagu Tapanuli, terutama keroncong," ungkapnya.

Hendarmin mengaku, kecintaannya pada musik keroncong seperti sudah mendarah-daging, dan karena itu ia siap berkorban. Ia juga menghormati Gesang, bahkan telah menganggapnya sebagai "orangtua"-nya.

Kalau bukan berdasar rasa kagum dan penghargaan yang mirip mitos, rasanya memang tak masuk akal sebuah perusahaan rekaman memproduksi album rekaman musik keroncong. "Apalagi di masa sulit sekarang ini," kata Hendarmin. "Memang banyak teman Asiri yang menyebut saya gila."

Ditambahkan, kalau cuma dihitung dengan ilmu dagang, memproduksi album keroncong jelas merugi. Tentang besarnya prosentase pemasaran album musik keroncong, misal dibanding musik pop, Hendarmin bertamsil, "Wah, kita harus menggunakan kaca pembesar untuk bisa melihatnya."
Sebagai gambaran, rekaman Album Emas Gesang (1999) cuma laku 7.000 kaset dan 1.000 CD. Bandingkan dengan album musik pop Indonesia yang, kalau meledak, bisa mencapai 400.000 keping. "Tetapi, dalam hidup ini kan ada harga yang lain. Yakni ketika kita dihargai oleh orang lain, seperti penghargaan orang Jepang terhadap Pak Gesang itu. Macam itu tidak bisa dinilai dengan uang saja," katanya.

Hendarmin juga menyebutkan, sebenarnya bukan hanya kalangan masyarakat Jepang yang mengagumi Gesang. Nama Gesang dengan Bengawan Solo-nya juga cukup dikenal pula di daratan Tiongkok. Dalam kaitan itu ia menyebut jasa Bung Karno yang pada masa lalu sering membawa misi kesenian ke RRC, juga Vietnam, dan negara Asia Tenggara yang lain.

Bengawan Solo
bengawan solo, riwayatmu ini
sedari dulu jadi perhatian insani
musim kemarau, tak seberapa airmu
di musim hujan air meluap sampai jauh ...

mata airmu dari solo
terkurung gunung seribu
air mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut ...

itu perahu, riwayatmu dulu
kaum pedagang s'lalu naik itu perahu

Keroncong yang Menyeberangi Lautan
Lagu "Bengawan Solo" yang berlanggam keroncong, sangat terkenal di Jepang. Orang Jepang langsung tahu bila kita menyebut "Bengawan Solo", karena sudah sejak lama mereka kenal. Terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut, mendengar lagu ini menimbulkan adanya perasaan nostalgia. Demikianlah, melalui "Bengawan Solo" yang digubah, telah tumbuh pertukaran yang bersejarah antar rakyat Jepang dan Indonesia.

"Bengawan Solo" masuk ke Jepang untuk pertama kali sekitar setengah abad yang lalu di kala masa perang. Pada waktu tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, lagu itulah yang dari radio terdengar secara luas di kalangan serdadu Jepang serta orang-orang Jepang yang berada di sini.

Seusai perang, berkat para tentara Jepang dan orang-orang perusahaan dagang Jepang yang pulang kembali ke negerinya, lagu tersebut kerap terpelihara eksistensinya, bahkan "Bengawan Solo" dengan syair dalam bahasa Jepang menjadi sangat populer. Konon orang orang di Jawa yang mendengar lagu itu merasakan ketenangan hati serta nostalgia, mengingatkan mereka akan masa mudanya karena melodi lagu serupa dengan lagu rakyat Jepang.

Salah pengertian bahwa "Bengawan Solo" merupakan lagu rakyat yang komponisnya tidak dikenal, berlangsung cukup lama. Akan tetapi ada orang-orang Jepang yang berdaya upaya bagi terjalinnya pertukaran antar rakyat biasa dengan Indonesia, mereka mencari melodi-melodi indah dari negeri-negeri lain dan membantu para komponis yang terlupakan.

Setelah mencari dan melacak keberadaan penggubahnya, Gesang pada tahun 1989, dengan dana yang dikumpulkan dari himpunan persahabatan Jepang-Indonesia di berbagai tempat di Jepang, telah dibentuk Dana Himpunan Gesang dengan alasan bahwa "Bengawan Solo bersifat Abadi", bahkan sampai didirikan sebuah monumen patung setengah badan Gesang di Taman Jeruk, Kota Solo.

Gesang datang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada tahun 1980, untuk pertama kali. Setelah itu telah berkali-kali datang ke Jepang atas undangan himpunan persahabatan Jepang. Demikianlah pagelaran keroncong berlangsung di Jepang untuk pertama kali dengan membawakan lagu "Bengawan Solo". Melalui Gesang dan musik keroncong, orang menjadi sadar bahwa musik adalah sesuatu yang mutlak perlu bagi persahabatan dan perdamaian dunia. Lebih-lebih lagi, berkat kerendahan hati Pak Gesang; kepribadiannya telah membawa keakraban dan kehangatan bagi orang Jepang. Berkat kunjungannya ke Jepang, keroncong telah mengalami boom secara diam-diam.

Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. "Bengawan Solo" yang melintasi batas negara, dengan memperkayakan hati manusia telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

Biodata
Nama:
Gesang Martohartono
Lahir:
1 Oktober 1917
Rekaman CD:
Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).

Album Emas:
bengawan solo
jembatan merah
saputangan
si piatu
roda dunia
dunia berdamai
tirtonadi
pemuda dewasa
luntur
bumi emas tanah airku
dongengan
sebelum aku mati


selengkapnya......