4.04.2010

gunung pringgondani


Di antara banyak petilasan di Gunung Lawu, ada satu yang akrab di keseharian penduduk Tawangmangu, yakni Pringgondani atau Pringgodani, pertapaan nun jauh di atas gunung.



Ke Pringgondani masyarakat datang untuk memperoleh kekuatan sekaligus dukungan atas upaya yang sedang mereka lakukan. “Tidak untuk meminta. Kalau kita sudah punya, tapi hanya sedikit, dan berusaha supaya punya lebih banyak, datang ke sana,” demikian kira-kira yang saya tangkap dari ucapan Pak Dasri, penduduk Tawangmangu, yang menyarankan agar kami mengunjungi tempat ini.

Letak Pringgondani di Kelurahan Blumbang, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Kali ini benar-benar naik gunung. Pak Wagimin yang mengantar kami mengatakan bahwa hanya butuh waktu setengah jam berjalan kaki dari lokasi parkir sepeda motor, untuk mencapai Pringgondani. Sejak remaja, lelaki 40-an tahun ini sudah sering ke sana. Berangkat usai magrib, dan turun lagi pukul 1 pagi. Tak terbayang bagaimana dinginnya.

Dorongan keingintahuan membawa kami melepaskan diri dari antaran ojek yang luar biasa memudahkan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Lawu, dan kali ini hanya berjalan kaki. Awalnya jalanan masih datar, melewati kebun kol dan kebun cabe rawit. Di tiga perempat tinggi gunung terlihat dua air terjun kecil. Pak Wagimin bilang, kami akan ke pucuk air terjun yang paling atas.

Jalanan datar ternyata pendek saja. Lantas mulailah “tanjakan-tanjakan kesabaran”, berkelok-kelok di antara pohon-pohon pinus, menyusuri lekuk gunung. Melewati pohon yang melengkung membentuk gerbang, tapi tak dijumpai ranting-rantingnya. Hanya batang pohon tertancap, ujung satu di tanah, batangnya melengkung, lantas ujung lainnya menancap di dinding gunung. Ada aroma hio yang kuat tapi tak ditemukan di mana hionya.

Berpapasan dengan orang-orang ramah, tak kenal tapi semua menegur, “Monggo…”. Atau ketika kami duduk istirahat karena napas sudah demikian sesak, seorang ibu membesarkan hati, “Leren, nggih (istirahat, ya)? Saya kalau naik malah bisa sepuluh kali istirahat.” Ibu ini datang ke Pringgondani jauh-jauh dari Klaten.

Setengah perjalanan, baru ditemui satu warung minum, tempat peziarah sejenak istirahat, minum dan merokok. Di sinilah kami bertemu dengan ibu-ibu dan bapak-bapak, masyarakat setempat, yang jasanya disewa satu keluarga dari Surabaya untuk membawa barang-barang dari lokasi parkir ke Pringgondani. Mereka mulai lagi berjalan setelah tadi istirahat, dan ini sudah putaran kedua! Artinya tadi sudah sampai Pringgondani, turun, dan sekarang naik lagi. Banyak rupanya barang yang harus dibawa.

Setelah entah berapa kali duduk dan menyelonjorkan kaki, akhirnya tampak patung garuda dan prasasti yang jadi pintu masuk petilasan Pringgodani. Dan waktu yang dibutuhkan ternyata bukan setengah jam seperti Pak Wagimin bilang sebelum berangkat tadi, melainkan molor jauh hingga satu seperempat jam.

Sampai di sana, keluarga dari Surabaya itu sedang makan siang di warung tak jauh dari petilasan. Memang sudah waktunya makan siang. Hanya ada satu menu makan di warung satu-satunya ini. Mi instan rebus dengan irisan sayur kol. Tak ada menu makanan lain.

Ditemani teh tubruk hangat. Teh hasil bumi Lawu dan diolah sendiri oleh penduduknya ini punya aroma unik. Tak ada tambahan wangi melati, hanya aroma pucuk teh plus aroma hangus yang didapat saat pengolahan. Warung-warung makan di Tawangmangu umumnya tidak mau menggunakan teh lokal karena aroma hangusnya itu, dan lebih suka membeli teh kemasan. Hanya warung di ujung gunung ini yang bertahan menggunakan teh hasil bumi Lawu.

Bersama keluarga itu ada pula seorang bikhu dengan jubah warna emas. Namanya Tejapuño, asli Surabaya. Usianya kira-kira 30-an. Mereka sampai di sini juga belum lama, tapi masih tampak segar, tidak seperti kami yang mandi keringat, dan tentu ini mengundang keheranan.

Dengan nada tenang Bikhu Tejapuño menjawab, “Orang yang ke sini bertujuan cepat sampai kan memang beda dengan yang ke sini untuk menikmati perjalanan. Mau apa sih cepat-cepat? Apa yang dikejar? Pemandangan sepanjang perjalanan bagus sekali. Lebih baik dinikmati.”

Hal yang biasa jika peziarah menginap di petilasan. Umumnya semalam. Ada ruangan di samping sanggar, tersedia buat yang menginap. Keluarga dari Surabaya itu menginap di satu petak rumah di samping warung makan. Tak ditarik bayaran, kecuali sekadar pengganti biaya makan yang sepenuhnya ditanggung warung.

Pringgondani bukanlah tempat ibadah agama tertentu. Di masa lalu, di sini pernah hidup tokoh spiritual yang dikeramatkan masyarakat, Eyang Panembahan Kotjo Nagoro (kadang ditulis Ki Ageng Kaca Negara). Masyarakat meyakini Eyang Kaca tak lain adalah Raden Brawijaya, raja terakhir Majapahit, yang memindahkan kerajaannya ke Gunung Lawu setelah Majapahit dikuasai puteranya, Raden Patah.

Ada keyakinan unik, yaitu selama berada di petilasan, tidak boleh bercerita mengenai sejarah Pringgondani dan siapa Eyang Kaca, sebutan hormat warga Lawu bagi Ki Ageng Kaca Negara. Pamali. Lina Sulistyowati, petugas petilasan Pringgondani mengatakan, “Kalau di sini, tidak boleh bercerita. Kalau sudah di bawah, baru boleh.”

Petilasan ini berupa rumah ukuran 5 meter x 5 meter yang disebut sanggar. Di terasnya terdapat empat arca prajurit sedang duduk dengan sikap-sikap Buddha. Di dalamnya ada altar bertuliskan “Eyang Panembahan Kotjo Nagoro”. Tertancap payung di atas altar. Di depan altar terdapat bokor untuk menancapkan hio dan anglo. Altar inilah pusat kegiatan di Pringgondani, tempat orang menjalani laku prihatin dan bertapa.

Setiap hari selalu ada yang datang, kata Lina, namun Pringgondani paling ramai dikunjungi pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sedangkan pada bulan Suro, tempat ini penuh selama sebulan.

Sebagai rangkaian laku prihatin adalah berendam di Sendang Gedang, Sendang Temanten, Sendang Kauripan yang letaknya tak jauh dari Pringgondani, dan suhu airnya mencapai 10 derajat Celsius. Tempat yang jauh untuk dijangkau, jalur menanjak yang menguras banyak tenaga, serta suhu dingin, mutlaklah syarat agar datang dalam kondisi tubuh prima. Silvia Galikano

*Dimuat di Jurnal Nasional Minggu, 12 Maret 2009*

0 komentar:

Posting Komentar